suara kedua

Tiba-tiba, Kevin menghentikan jemarinya di atas hamparan tuts piano. Mereka berebut berdentang, dalam bunyi tanpa harmoni.

“Kenapa?” Fionna menurunkan biola dari bahunya. Ruang musik jadi sangat lengang.

“Fio, sebenernya suara lo tuh bagus.

Gue nggak ngerti kenapa lo selalu nolak kesempatan buat nyanyi solo. Man, nggak semua orang bisa dapet tawaran itu.” Gadis itu tertawa kecil.

Ia lalu berdeham pendek. “Makasih.”

“Gue serius.”

Kevin kini membalikkan tubuhnya, memunggungi piano. Fionna dapat merasakan berbagai ekspresi di balik kedua bola mata pemuda itu.

“Lo udah ditawarin buat nyanyi lagu ini,” Kevin menunjuk partitur yang tersemat di hadapannya. “Dan jazz itu genre lo.

Tapi lo juga nolak waktu diminta jadi solois buat repertoarnya Vivaldi. Apa lo sebegitunya nggak mau jadi pemeran utama?”

Fionna masih tersenyun kecil. Ia lirik lagi kertas partitur di depannya. Ain’t No Mountain High Enough, sebuah lagu genre jazz yang sudah dihapalnya di luar kepala–bahkan hingga bagian bas dan gitarnya.

“Entah, Vin.”

Di konser yang berjarak kurang dari dua hari ini, ia dan Kevin akan mengiringi seorang alumni. Kevin, seperti biasa akan berada di balik piano seperti pengiring. Sementara ia akan menjepit biolanya di bawah leher, memainkan bagian yang kurang lebih dapat disamakan dengan suara kedua.

Bukan suara dua.

Ia tetap ada, bersuara sendiri di antara hingar-bingar panggung.

Ia tak merasa tenggelam. Ia memang bukan seorang pengiring. Bukan hanya melambungkan sang vokalis–

ia menyempurnakan lagu.

“Gue nggak pernah merasa nggak ada di bawah lampu sorot, Vin,” Akhirnya ia buka suara.

“Gue bukan pengiring, bukan backsound, atau lainnya. Gue ya gue, dengan biola,

suara

kedua.”

“Dan penonton selalu bisa memilih untuk menikmati yang mana; violis atau vokalis.”

Fionna kembali mengangkat biolanya, mengembalikan posisi siaganya. Bow-nya dilayangkan di atas senar-senarnya.

“Yuk.”

A/N: Gue selalu menunggu saat di mana gue bener-bener jago main biola :”)