Tentang Atheis

Beberapa hari ke belakang, novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja ini jadi commuting friend gue. Gue cuma berpikir daripada gue main HP di kereta dan buang-buang kuota, mending perjalanan masing-masing setengah jam itu gue pakai buat kegiatan yang lebih berfaedah alias membaca (kalau dilakukan rutin terdengar sangat ideal ya, sayangnya gue lebih sering tidur berdiri daripada beneran baca kayaknya). Sebelum Atheis ini, commuting friend gue adalah Chinese Cinderella (Adeline Yen Mah).

Gue nggak bisa jelasin betapa senengnya gue pas nemu novel ini di antara selipan buku-buku bekas lain di Blok M Square; gue sampai lupa pernah sebegitu pengennya buku ini! Gue pertama tahu Atheis itu waktu SMA karena sering disebut-sebut berdampingan dengan karya-karya terbitan Balai Pustaka lain seperti Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dll. Kalau nggak salah ingat, dulu kayaknya sempet ada terbersit pakai novel Atheis juga buat referensi tugas kuliah tapi nggak jadi karena kurang relevan (tugas apa ya coba, jangan-jangan matkul Agama WKWKWK) (dulu gue pernah bikin tugas Agama terus referensinya malah dari buku filsafat, anaknya emang kadang gitu). Akhirnya gue baru berkesempatan buat baca buku ini sekarang.

Kalau orang lihat sampulnya mungkin bakal sedikit curigaan karena font-nya yang “seram”, ditambah lagi ada bercak-bercak darahnya segala (biar apa? Entah, hanya Tuhan dan desainernya yang tahu). Sering juga novel ini disangka buku nonfiksi. Terlepas dari seberapa provokatifnya sampul dan judul novel, let me tell you something: this isn’t (just) about being an atheist.

Ketimbang menghasut orang untuk jadi atheis, novel ini mengatakan sesuatu yang berlawanan; kalau orang harus beragama. Lebih spesifiknya, dia cerita tentang salah satu fungsi agama, yakni, sebagai kontrol sosial. Nggak semua orang punya cukup akal sehat untuk dilepas di masyarakat tanpa pegangan. Percayalah, di novel ini mayoritas karakternya menyebalkan dan hampir nggak berhak diberi simpati… Bahkan karakter utamanya sekalipun😂

Masuk ke bagian spiritualnya, novel ini menyoroti perkembangan karakter tokoh Hasan mengenai pandangannya terhadap Tuhan dan agama. Selama baca, gue cuma bisa menyimpulkan isi novel dalam satu kalimat, gini deh jadinya orang beragama nggak pake mikir. Salah satu basis agama adalah kepercayaan, tapi logika juga main peran di sana. Oke, kalau logika terasa terlalu scientific, kita pakai istilah pemahaman, deh. Ada alasan tertentu mengapa harus begini dan begitu dalam agama dan kita butuh pemahaman buat bisa menjalankannya dengan baik. Apalagi saat kita mencoba berdakwah atau mempertahankan ideologi kita. Kita mungkin tidak akan pernah bisa sepenuhnya sampai pada pemahaman dari sudut pandang Tuhan sendiri, tapi setidaknya kita paham betul mengenai apa yang selama ini kita jalani.

Masuk ke struktur, hal yang gue suka adalah pembukaan novelnya. Novel langsung dibuka dengan gebrakan bahwa tokoh Hasan dikabarkan meninggal, lalu tokoh Kartini menangis karena kabar tersebut. Siapa Hasan? Siapa Kartini? Saat kita membaca lebih jauh, perlahan diungkap bahwa Hasan adalah orang yang sangat religius-konservatif sementara Kartini adalah perempuan liberal yang radikal. Nah, jadi Hasan bakal jadi atheis atau gimana? Gimana perkembangan karakternya? Mengapa Hasan meninggal? Rasa penasaran ini terus mengikuti gue sejak awal cerita (dan sukses membuat gue menamatkan cerita).

Kalau dari segi bahasa, novel ini masih ditulis tidak sesuai dengan kaidah PUEBI yang sekarang. Gue rasa, ini termasuk salah satu faktor yang bikin gue bosan di awalnya, soalnya jadi bertele-tele dan bikin pusing. Tapi makin ke belakang makin seru, klimaksnya dapet banget. Selain itu, gue suka pemilihan katanya yang seringkali malah bikin gue ketawa. Ada bagian ketika Hasan dan Rusli (yang oleh Hasan dijuluki si atheis) dijamu oleh Kartini di rumahnya dan mereka makan sangat banyak. Achdiat menulis, “yang satu makan seperti kaum proletar sementara satunya makan seperti fakir miskin yang tidak diurus”. You can guess which one is which 😂

Selesai membaca Atheis, gue bergumam pada diri sendiri kalau ini adalah “buku yang baik”. Sepanjang tahun 2018, gue cuma bilang seperti itu ke novel Semua Ikan di Langit (Ziggy Z.). Sama-sama ngomongin Tuhan, cuma yang satunya lebih abstrak aja hahaha. Gue nggak pernah tahu butuh buku semacam ini, mungkin gue baru sadar setelahnya kalau gue memang butuh “kenalan” lagi sama Tuhan.

Selain mengenalkan, novel ini juga memberi tamparan telak, sih. Gue rasa juga bisa diaplikasikan ke agama secara general meskipun konteks di novelnya adalah agama Islam. Jadi, mungkin ada baiknya dipikir lagi, selama ini kita beragama hanya sampai di ujung lidah atau sudah sampai ke pikiran?

JKT48 for dummies

 

Ketika kemarin gue cerita lagi nonton teater JKT48 (dari sini kita sebut “teateran”), orang-orang pada heboh bertanya. Sebenernya nggak tau juga antara mau ngehina gue atau emang penasaran, tapi intinya penasaran kan? :)) entri ini gue dedikasikan buat semua orang yang mau tau sebenernya apa yang terjadi saat lagi teateran, entah nggak bisa ke sana karena jauh atau gengsi.

Pada dasarnya gue nggak pernah menganggap wota (fans JKT48) itu jijik atau gimana soalnya sahabat gue (cewek) sendiri itu wota. Waktu SMA cuma suka latah soalnya ada temen gue (sorry, Jal) yang suka diceng-cengin karena wota sama temen-temennya yang lain. Itupun yang dikatain dia doang. Nah, sejak gue kuliah dan ketemu lingkungan yang lebih open minded dan judgement-free, gue jadi seneng mengeksplor hal-hal baru (tentunya yang tidak membahayakan). Gue juga ketemu sama seorang temen yang kebetulan ngerti banget tentang JKT48 (bahkan dia dulu sempet ikut audisinya), jadi pandangan gue terhadap JKT48 semakin berubah. Gue percaya semua orang punya dan butuh media katarsis dan kalau memang teateran adalah katarsis mereka, who am I to judge? Meskipun semua hal yang berlebihan ndak baik, hehe. Jadilah, kemarin gue ke sana dalam rangka nyobain katarsisnya temen gue.

Tadinya dia mau beliin gue tiket pakai akunnya dan bayar pakai poin (sistemnya kayak beli saldo), tapi karena dia udah beli duluan, akhirnya gue harus beli sendiri. Dan karena gue baru sampai di fX jam lima sementara ticket booth udah buka dari jam tiga atau empat (I seriously forgot), temen gue yang luar biasa ini berjuang membelikan gue tiket (gue yakin semua usaha itu sebenernya propaganda buat menjadikan gue wota, thanks) (gadeng). Jadi sebenernya, mekanisme pembelian tiket on the spot itu adalah siapa yang mau nonton, dia yang harus beli tiket sendiri. Lo harus nunjukin muka lo sendiri beserta tanda pengenal lo di situ. Nah, temen gue ini entah gimana caranya menang berantem lawan mbak-mbak ticketing-nya dan berhasil mendapatkan tiket buat gue (meski pas nyampe, gue langsung diseret buat nunjukin KTP di loket). Terharu…

Acara mulai jam 19.00, tapi di depan teater udah mulai padat dari jam 18.30. Mengapa padat? Nah, di sini serunya. Jadi, di setiap tiket itu ada yang namanya nomor bingo. Nomor bingo gue kemaren 1, tapi bukan cuma gue doang yang nomornya 1. Temen gue dan beberapa orang lain juga nomor 1.  Jadi kayak rombongan. Di layar LCD, ada pengundian nomor bingo yang menentukan urutan lo masuk ke teater. Semakin cepet masuk, semakin bisa milih kursi. That’s why kesempatan duduk yang beli OTS sama kayak yang pesen online. Ini juga menjelaskan mengapa ada orang yang udah pesen online tapi harus berdiri (meski ada yang emang lebih suka berdiri), itu karena nomor bingo mereka dipanggilnya belakangan.  (ya, jadi sekarang kalian bisa membayangkan rombongan yang teriak-teriak pas nomor bingonya dipanggil duluan) Ngomong-ngomong, tiket teater ada yang warna biru dan warna hijau. Biru itu khusus buat laki-laki, kalau hijau yang campuran. Pas nomor bingo diundi, yang dipanggil pertama itu yang tiket warna biru.

Oiya, ada baiknya kalian menyimak obrolan gue dengan temen gue.

“Ini kita mau nonton apa, sih?”

“Nonton apanya?”

“Ya ini. Tim KIII.”

“Iya Git, jadi hari ini yang tampil tim KIII.”

“Terus BELIEVE ini apa?”

“Itu setlist-nya. Kayak kumpulan lagu. Satu setlist ada sekitar dua puluh lagu.”

“Oh, gitu.” Dan temen gue terdengar kayak dia mau membocorkan semuanya tapi merasa kalau itu harusnya dibiarin jadi surprise aja.

*

Pas kita di dalam ruangan, gue baru tahu kalau ternyata ruangannya relatif kecil. Bahkan, nggak sampai sebesar aula gedung D Psikologi UI karena jarak kursi penontonnya rapat. Panggungnya juga nggak terlalu tinggi, tapi dari posisi gue duduk pun semua member masih bisa terlihat wajahnya. Di depan, ada layar yang menampilkan video klip lagu-lagu terbaru JKT48.

Gue dan temen gue duduk di tengah agak ke belakang di barisan kursi hijau. Menurut temen gue, di depan kita ada keluarganya salah satu member (Ayana, kalau nggak salah). Gue juga mengamati bahwa banyak banget laki-laki paruh baya kantoran (terlihat dari batik mereka, karena kemarin hari Jumat) di situ. Selain WNI, ada juga beberapa orang Jepang (yang juga om-om dan bapak-bapak). Kata temen gue, orang-orang Jepang itu dulunya fans AKB48 dan saat ketemu JKT48, mereka cocok sama performance-nya. Nggak hanya laki-laki, ada juga perempuan yang nonton. Salah duanya ada di belakang kita dan berisik banget. Pas oshi (member yang difavoritkan) dia muncul, dia teriak-teriak. Pas member yang dia nggak suka muncul, dikata-katain. Oh, dan mungkin kalian bertanya, mana lightstick-nya? Ternyata, pas gue ke sana yang bawa lightstick cuma sedikit. Gue kira sampe heboh gitu kan lautan lightstick (mungkin itu di konsernya).

Oke. Berikutnya, yang gue tahu adalah layar tiba-tiba digulung ke atas lalu terdengar suara salah satu member dan SEMUA ORANG TERIAK, di situ gue mulai panik dan merasa “gue ngapain di sini”. Lalu member tim KIII bermunculan di atas panggung dan semua orang mulai nge-chant, meneriakkan nama oshi mereka, dan menggoyang-goyangkan lightstick. Gue nengok hanya untuk mendapati temen gue langsung terbawa nge-chant juga, di situ gue mau nangis. Sumpah, dia nge-chant nggak seheboh rombongan lain tapi kayak ada di dalem dunianya sendiri gitu. Dia bisa nge-chant sekarang :’)

Dan buat kalian yang bingung chant itu bunyinya gimana, ini ada cuplikan chat gue dengan temen gue.

Gausah ngajak-ngajak 😦

*

Teater JKT48 adalah pertunjukan yang sangat intense dan melibatkan berbagai gerakan high-impact. Tiap mereka tampil itu bisa ngebawain tiga lagu sekaligus sebelum satu-satu member undur diri buat persiapan lagu setelahnya. Staminanya hebat banget! Gue ngeliatin temen-temen gue latihan hampir tiap hari pas produksi teater musikal dan, ya… kira-kira se-intense itu latihannya. Terus, habis beberapa lagu pertama, ada sesi MC (ngobrol-ngobrol syantik dengan member) yang dimaksudkan sebagai transisi. Gue salut banget di sini, konsep ini membuat penonton nggak “dianggurin” cuma karena mereka mau istirahat. Dalam sesi MC ini, mereka keluarnya gantian perbaris. Oh, dan tim KIII sendiri isinya sebenernya nggak cuma enam belas orang. Tapi, yang tampil di setiap pertunjukan memang hanya enam belas orang. Jadi kayak digilir setiap tampil. Menurut temen gue, hari itu banyak member top yang tampil.

Berikutnya, setelah semua member keluar dari panggung, mulailah beberapa member bergiliran masuk untuk membawakan lagu-lagu unit (lagu yang dinyanyikan sekelompok member). Kalau ditanya, gue suka apa enggak lagu-lagunya? Pada dasarnya gue menikmati semua lagu yang menurut gue enak. Jauh sebelum JKT48, gue udah suka lagu-lagu Jepang karena progresinya unik. Lagu JKT48 sendiri adalah adaptasi dari lagu-lagu AKB48 (yang menjelaskan kenapa lo akan menemukan lagu-lagu berjudul aneh semacam Fortune Cookies yang Mencinta atau Musim Panas Sounds Good). Menurut gue lagu-lagunya cukup enjoyable, terlepas dari seberapa aneh liriknya. Lagu favorit gue kemaren adalah 7ji 12fun no Hatsukoi alias Cinta Pertama di Jam 7 Lewat 12 (thanks to kemampuan terjemahan dan ilmu wota temen gue). Di antara semua lagu, cuma lagu itu yang berhasil bikin perasaan heartwarming pada gue.  FYI, temen gue itu hapal hampir seisi setlist. Gue udah cukup banyak facepalm ngeliatin dia nyanyi.

Mari kita lanjut. Oshi temen gue sendiri adalah Cindy Yuvia atau Yupi dan ternyata, Yupi ini termasuk top member yang digadang-gadang di tim KIII, salah satunya karena fans-nya banyak. Buktinya, dia selalu ditaruh di tengah.  Selain Yupi, ada juga Ayana dan Shani (hehehe gue paling suka dia) yang masuk top three member tim KIII. Bisa terdengar, pas mereka sesi MC, banyak yang pada teriak-teriak. “Shani kawaii!” atau “Shani, daisukiii!”

Meskipun Shani banyak yang suka, dia masih belum pernah dapet peringkat di Senbatsu Sousenkyo (SSK). SSK itu adalah ajang voting member terpopuler tahunan dari seluruh generasi. Member-member yang ada di peringkat 32 teratas berhak untuk jadi line up lagu terbaru JKT48 (peringkat 1-16 disebutnya “senbatsu”, kalau 17-32 “undergirls”. Masing-masing dapat lagu sendiri, biasanya sekali rilis ada dua lagu yang line up-nya dari hasil SSK). Semua member punya kesempatan yang sama buat menang SSK, meskipun dia generasi baru tapi udah menonjol dan terkenal, bisa aja langsung menang SSK.

*

Seinget gue, dari keseluruhan pertunjukan, cuma ada sekitar sepuluh menit saat panggung bener-bener kosong. Di situ semua penonton pada teriak-teriak, “Ankoruuu! Ankoruuu!”

“Ankoru apaan?”

Encore. Itu maksudnya kayak ‘we want more’ gitu.” Ya Allah, baru masuk udah disuruh naik lagi:(

Dan di akhir pertunjukan, ada yang menarik. Ada sesi pengumuman dan apresiasi MVP, di mana orang yang menjadi MVP akan dipanggil ke depan lalu diajak bincang-bincang lucu dengan member dan diberi kaus JKT48 bertandatangan seluruh member dan pin oleh oshi-nya. Yang bikin gue syok di sini adalah kenyataan bahwa MVP itu orang yang udah teateran selama seratus kali. Ada juga MVP 200, MVP 300, dan seterusnya. Saat ini gue ngetik ulasan di laptop usang gue yang udah gue pake dari kelas 6 SD, kalau ada yang bisa MVP 200 berarti dia bisa beliin gue laptop baru:( Temen gue sendiri baru teateran sembilan kali dan kemarin adalah pertama kalinya dia teateran nggak sendiri.

Selesai pertunjukan, ada sesi hi-touch. Yaitu, semua penonton tos sama member yang tadi tampil. Lalu semua penonton pulang dengan senang dan kalau gue, pulang dengan kepala penuh…

*

Saat membahas konsep teater, gue nggak akan menyinggung tentang sisi psikologis member karena menurut gue… itu konsekuensi menjadi idol di dunia hiburan. Itu tuntutan pekerjaan, mau nggak mau lo harus give the most out of you. Meskipun begitu, gue berharap para member selalu sehat secara jiwa dan raga, apapun yang terjadi. Oke, jadi, gue bakal ngebahas dari sisi penonton saja. Penonton awam yang pertama kali dateng, lebih spesifiknya. Menurut gue, teater JKT48 ini adalah sebuah kearifan timbal balik. Ini adalah wadah di mana fans merasa sangat dekat dengan idolanya. Seperti mengajak orang-orang buat jadi wota dengan ungkapan “idolamu sedekat ini, loh, denganmu!” Ruangan yang kecil juga membuat penonton merasa ada di kursi VIP, kalau lagi di konser-konser besar. Pantes aja orang-orang pada nagih mau nonton ini, di sini penonton merasa diapresiasi dan disambut. Mereka dapet pengakuan di sini yang merupakan salah satu kebutuhan manusia. Di sisi lain, pertunjukan ini juga mengingatkan member untuk tidak lupa diri karena apa yang mereka capai sekarang juga berkat dukungan dari fans mereka. Kita sering mendapati entertainer yang sebenarnya bertalenta namun bersikap angkuh sehingga banyak orang membencinya. Nah, JKT48 berusaha membuat kesan sebaliknya, bahwa setiap member punya kewajiban untuk menghargai fans mereka. Menurut gue ini menarik.

Pas kita di lobi, gue bertanya ke temen gue. “Sebenernya, apa sih yang lo rasain tiap abis teateran?”

“Ya… seneng aja. Nggak nge-recharge energi, sih. Tapi bisa meringankan beban pikiran gue.”

Di sini gue nggak men-encourage orang buat mencari katarsis dengan teateran juga, tapi kalau kalian suka menghina, saran dari gue sih, pikir-pikir lagi, deh. Coba nonton dulu atau ngobrol-ngobrol sama mereka yang wota. Gue rasa, kebanyakan orang yang memandang negatif itu sebenernya menggeneralisasi kalau semua wota pasti fanatik, padahal kenyataannya ndak. “Kayak gue dong, gue kan wota yang beradab,” ujar temen gue saat gue protes di belakang gue ada wota yang bodyshaming member (apa coba yang mau di-shame? Badan udah bagus-bagus kek gitu!). Temen gue ini emang wota, tapi dia masih punya kehidupan lain di luar sana. Kalau dia jadi fanatik pun pasti gue tampol juga biar balik ke kenyataan. Poin gue adalah segala sesuatu harus dilakukan sekadarnya aja.

Jadi, my verdict? Sebagai seseorang yang menikmati musik Jepang, gue sih enjoy teateran. Tapi, dari segi opportunity cost, nggak worth it banget menurut gue. Dengan opportunity cost sebesar itu, banyak hal-hal bermanfaat dan nambah wawasan lain yang bisa gue kerjakan. Tapi gue nggak menyesal udah nyoba teateran. Still, a fun experience indeed :))

 

P.S. Kenapa nggak ada foto pas mereka tampil? Di dalam ruangan ndak boleh foto 🙂

P.P.S. Buat temen gue: jujur aja gue takut kehilangan lo yang dulu pas lo ngaku wota tapi ternyata lo masih orang yang sama… cuma wota. Kemaren adalah attempt gue buat memahami mengapa lo bisa jadi wota dan iya, sekarang gue ngerti. Makasih ya, udah mau gue recokin selama teateran. Keep doing good. Stick to me till the end, would you?

short remark: The Curious Case of Benjamin Button

A/N: this contains spoilers. But personally, I don’t think the spoilers will ruin the fun in watching the movie, tho.

Waktu gue SD, gue dengan gatau dirinya hanya memanfaatkan sebagian besar waktu dengan TV kabel buat nonton Animax atau National Geographic. Sekarang TV kabel sudah tidak ada lagi di rumah gue.

Dan gue literally hampir nggak nonton TV di rumah lagi sejak saat itu.

Oleh karena itu, gue sangat menghargai TV kabel. Salah satu bentuk penghargaannya adalah nonton sampai larut di hotel/penginapan yang ada TV kabelnya. Sumpah, gue baru tau kayaknya semua program di AXN gaada yang ngebosenin 😦

Seperti biasa, kemarin gue sedang menghargai TV kabel di hotel. Jam menunjukkan sekitar pukul 10 malam pas gue lagi dengan seriusnya nonton Need For Speed (don’t judge me, guys. It was SUPER intense). And it was probably like 1 a.m. when it finished?

Akhirnya Need For Speed selesai. Eh, paan lagi neh selanjutnya?

It was frikkin The Curious Case of Benjamin Button (2008).

And I can’t forget the whole film until now.

.

Born under unusual circumstances, Benjamin Button (Brad Pitt) springs into being as an elderly man in a New Orleans nursing home and ages in reverse. Twelve years after his birth, he meets Daisy, a child who flickers in and out of his life as she grows up to be a dancer (Cate Blanchett). Though he has all sorts of unusual adventures over the course of his life, it is his relationship with Daisy, and the hope that they will come together at the right time, that drives Benjamin forward.

Iya, seperti kata sinopsisnya, Benjamin Button terlahir dengan kelainan yang membuat dia mengalami reverse-aging.  Dia punya pertumbuhan mental yang normal, tapi pertumbuhan fisiknya terbalik. Contohnya, ketika dia punya jiwa anak usia 10 tahun, tubuhnya mirip kakek-kakek.

Gue kira Benjamin bakal selamanya tua gitu kan (sebelum gue mengambil kesimpulan kalo dia mengalami reverse-aging), tapi gue syok pas di tengah cerita he turns into a hot damn Brad Pitt.

Oh, seumur hidup gue gapernah ngerti di mana sisi hot-nya Brad Pitt sampai hari itu.

Pas Benjamin ketemu cinta pertamanya, Daisy, gue mikir, ‘This will be a good story of unconditional love that empowers people!’ Ya soalnya, you know–the little Daisy and “grandpa” Benjamin.

But as the story revolves… it reveals that it’s not only telling love story. It tells everything

It unveils the concept of life and death beautifully. Tentang penerimaan terhadap takdir, yang tidak berarti menyerah pada keadaan–melainkan pengharapan agar kita selalu diberi kekuatan dan keberanian untuk mengulang lagi hingga mencapai apa yang sesungguhnya kita tuju.

Oh, dan pas Benjamin dan Daisy mencapai umur fisik yang sama, the story turned into a super steamy and adorable romance involving Brad Pitt and Cate Blanchett 💔

Film ini diadaptasi dari cerpen berjudul sama karya F. Scott Fitzgerald, tapi apparently Eric Roth, penulis naskah filmnya, hanya mengambil judul dan kelainan Benjamin Button untuk film.

Gue baca sedikit excerpt cerpennya, dan gue rasa, kalau lo harus nonton film yang bener-bener diadaptasi sepenuhnya dari cerpen, lo bakal mikir kalo Benjamin Button is a huge bastard (go read it by yourself, lol). Filmnya bakal jadi sangat witty, tapi ya, pendekatan dramanya kurang.

Sementara, Eric Roth berhasil membuat kisah Benjamin Button yang film-able. Dia sukses memasukkan penghayatan terhadap kehidupan (juga menampilkan sosok Benjamin yang sangat suami-able) dan nggak hanya sekadar ngomongin keanehan dunia sains yang terjadi pada Benjamin. Eric Roth is a goddamn genius.

Hal lain yang gue suka dari film ini adalah bentuk narasinya yang berupa pembacaan isi jurnal, dan ya, seperti semua jurnal, nggak ada yang bener-bener menggambarkan seluruh keutuhan kisah hidup. Jatuhnya ceritanya jadi “terpotong-potong”–sedikit mirip sama 500 Days of Summer, mungkin–tapi ini salah satu faktor yang bikin gue nggak bosen nontonnya.

Filmnya juga aesthetically pleasant menurut gue, sedikit mengingatkan gue sama sinematografinya The Grand Budapest Hotel (meskipun belum bisa nyaingin ini HAHA). Sinematografinya memang dirancang buat bikin penonton ada di roller coaster of emotion, tone warnanya berubah-ubah sesuai latar emosi (dan itu berhasil memengaruhi gue, setidaknya).

Kalau dipikir secara logis, harusnya kelainan Benjamin Button ini bakal bikin orang-orang takut (atau bingung) juga menarik perhatian kalangan medis. Tapi hal-hal ini sama sekali nggak ditunjukkan dalam film (yang membuatnya sedikit nggak masuk akal).

Namun, buat gue salah satu indikator film ini berhasil menghipnotis lo adalah ketika lo nggak mikirin hal-hal illogical saat nonton.

I swear I was on the verge of sobbing helplessly when the film ended (but I couldn’t, for it was like 3 a.m.). And my favorite quote?

Our lives are defined by opportunities, even the ones we miss.

Bonus quote favorite lain pasca ketragisan akhir kelas 12 gue:

You can be as mad as a mad dog at the way things went, you can curse the fates, but when it comes to the end, you have to let go.

Dan iya, pada akhirnya mungkin ini adalah cerita tentang unconditional love story (and damnit it was such a tear-jerker). Tapi gue yakin kalau Eric Roth sendiri nggak ingin lo kelar nonton ini cuma ngerti cinta-cintaannya aja. This film has a world in it.

[5/5]

P.SSekarang gue ngerti kenapa gue nggak dianugerahi TV kabel di rumah…

short remark: Now You See Me 2

A/N: CONTAINS SPOILER. Dude, I’ve warned you.

PhotoGrid_1466157651219

Gue kadang suka lupa kalo NYSM sebenernya udah rilis sekitaran dua tahun lalu dan gue belum pernah nonton NYSM 1 sama sekali sampe tiba-tiba diingetin kalo NYSM 2 udah keluar.

Ternyata, selama ini yang gue lakukan hanyalah membuat mental note kalau gue harus nonton NYSM tanpa diteruskan ikhtiar yang konkret.

.

I’ve always been an avid magic enthusiast. In elementary school, I was that magic-nerd kid who wanders everywhere doing magic (you didn’t have that kind of kid? Too bad, my school had me back then, lol). Pas NYSM pertama rilis, gue sempet hype banget terus lupa selalu mau nonton film itu. Akhirnya, ketika NYSM 2 keluar gue memutuskan untuk mengakhiri kekepoan gue terkait film tersebut. Iya, gue baru nonton NYSM 1 beberapa hari sebelum nonton NYSM 2 and it was actually a great decision–gue masih lengket sama semua detail plot dan karakternya.

Guys, it was a blast.

Dari segi plot, menurut gue sangat jenius, because you don’t just go making a twisted plot that reveals only a bit of information per scene without lots of meditation and preparation.

I have my favorite scene in NYSM 1; it’s when the interpol Alma asked Dylan to have faith in her when he hardly believe that she could solve the case. Ya, pada akhirnya kita semua tau kalau semua kasus ini adalah konspirasi Dylan (yang jadinya lucu pas di awal NYSM 2 ada adegan Dylan kalang kabut nyeritain kasus terbaru The Horsemen), yang artinya, sebenernya dia nggak mau rahasianya terbongkar sama Alma. But Alma is witty enough to solve it. Ketika Dylan memutuskan buat percaya sama Alma, itu artinya dia juga memercayakan semua ambisi dan rahasianya tentang sulap dan kematian ayahnya; Lionel Shrike. It was kinda sad and deep to rethink.

Tapi sebenernya gue sedikit kecewa sama twist di ending NYSM 1, soalnya ya… menurut gue “murah” banget kalau ternyata Dylan (Mark Ruffalo) berbohong di entire movie dan kebenaran baru diungkap di akhir. (Mark Ruffalo actually went from a total douche to a loving man, duh. Aku ga kuat, bang.)

Kabar baiknya, twist itu bisa gue maafkan setelah nonton NYSM 2. Gue baru ngeh kalo trilogi ini (yep, it’s confirmed, guys) adalah tentang ditipu dan menipu. And that’s how magic works in general. Ketika kita–sebagai penonton–ditipu and we’re okay with that.

It’s apparently the only moment we enjoy being fooled, other than people throwing birthday surprise for us, ofc.

Overall, the NYSM is a big magic show a la Val Valentino–luring you into a trick, then releasing you with some explanations. And it’s greatly acceptable.

[4/5]

P.S. It was 3/5 before I watched NYSM 2. Probably, it’d be 5/5 after the third one is out lol